NilaiJawabanSoal/Petunjuk ORIENTALIS Ahli kebudayaan bangsa timur ARAB Bangsa Di Timur Tengah NASION Bangsa ABAI Suku bangsa di Kalimantan Timur KANGEAN Suku bangsa di jawa timur ALOR Suku bangsa di Nusa Tenggara Timur TIDUNG Suku bangsa yang mendiami Kalimantan Timur TENGGER Suku bangsa yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Bromo ETNOGRAF Ahli perbandingan adat-istiadat bangsa-bangsa; ahli etnografi SOA Suku bangsa yang mendiami Kabupaten Ngada, NTT NGADA Suku bangsa di Pulau Flores, NTT OSING Suku bangsa yang mendiami daerah Banyuwangi MABA Salah satu suku bangsa di kab maluku utara USING Salah satu suku bangsa di Banyuwangi, Jawa Timur UNA Suku bangsa yang mendiami wilayah pegunungan Jaya wijaya, Papua KUI Suku bangsa di Pulau Alor, NTT TOIANAS Suku bangsa yang mendiami wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur SEDOA Suku bangsa yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah bagian timur KODI Suku bangsa di Sumba Barat, NTT LURU Suku bangsa di sebelah timur Gunung Pendering, Kalimantan dan Serawak RONGGA Salah satu Suku bangsa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur MOI Salah satu suku bangsa yang mendiami Pulau Salawati bagian timur dan di sekitar Kota Sorong ATONI Suku bangsa yang mendiami pedalaman Pulau Timor bagian barat, Provinsi NTT SAURI Suku bangsa yang tinggal di pesisir timur Teluk Cendrawasih, Papua ABUI Salah satu suku bangsa di kabupaten Alor NTT
Beberapahasil kebudayaannya meliputi bidang kesenian, ilmu pengetahuan, olah raga, tata kota, pemerintahan, militer, ekonomi, dan kepercayaan atau agama. Hasil - hasil kesenian Bangsa Romawi Kuno meliputi Seni Bangunan, Seni Sastra, dan Seni Patung. 1. Seni Bangunan. a. Membangun kota Roma dengan gedung – gedung yang berdinding berlapis
NilaiJawabanSoal/Petunjuk ORIENTALIS Ahli kebudayaan bangsa bangsa timur TIMUR 1 mata angin yang arahnya berlawanan dengan barat; asal matahari terbit matahari terbit di sebelah -; 2 orang, bangsa, benua di bagian timur dunia;... ARAB Bangsa Di Timur Tengah NASION Bangsa ABAI Suku bangsa di Kalimantan Timur KANGEAN Suku bangsa di jawa timur ALOR Suku bangsa di Nusa Tenggara Timur TIDUNG Suku bangsa yang mendiami Kalimantan Timur TENGGER Suku bangsa yang tinggal di sekitar kawasan Gunung Bromo ETNOGRAF Ahli perbandingan adat-istiadat bangsa-bangsa; ahli etnografi SOA Suku bangsa yang mendiami Kabupaten Ngada, NTT NGADA Suku bangsa di Pulau Flores, NTT OSING Suku bangsa yang mendiami daerah Banyuwangi MABA Salah satu suku bangsa di kab maluku utara USING Salah satu suku bangsa di Banyuwangi, Jawa Timur UNA Suku bangsa yang mendiami wilayah pegunungan Jaya wijaya, Papua KUI Suku bangsa di Pulau Alor, NTT TOIANAS Suku bangsa yang mendiami wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur SEDOA Suku bangsa yang mendiami wilayah Sulawesi Tengah bagian timur KODI Suku bangsa di Sumba Barat, NTT LURU Suku bangsa di sebelah timur Gunung Pendering, Kalimantan dan Serawak RONGGA Salah satu Suku bangsa yang berasal dari Nusa Tenggara Timur MOI Salah satu suku bangsa yang mendiami Pulau Salawati bagian timur dan di sekitar Kota Sorong ATONI Suku bangsa yang mendiami pedalaman Pulau Timor bagian barat, Provinsi NTT SAURI Suku bangsa yang tinggal di pesisir timur Teluk Cendrawasih, Papua
Walaupundemikian, nenek moyang bangsa Indonesia dapat dikatakan serumpun yaitu keturunan penduduk asli dan dua gelombang migrasi dari utara. Perdebatan tentang asal usul nenek moyang bangsa Indonesia sampai saat ini masih terus berkembang. Demikian ulasan sejarah Kedatangan Nenek Moyang Bangsa Indonesia, semoga dapat menambah wawasan kita.Filsafat Kebudayaan Kebudayaan menjadi salah satu tema menarik dalam diskursus filsafat apabila direlevansikan terhadap perkembangan zaman yang dinamis. Istilah kebudayaan yang awalnya hanya dikaitkan dengan aktivitas kesenian dan seremonial sebagai artefak masyarakat, ternyata memiliki pembahasan yang lebih esensial dalam filsafat. Dalam diskursus filsafat, esensi kebudayaan diupayakan untuk diinternalisasi melalui berbagai macam fenomena budaya. Wacana pertemuan nilai budaya Timur dan Barat merupakan salah satu fenomena budaya yang seringkali mendapatkan perhatian dari berbagai ahli budaya dan filsafat, salah satunya adalah To Thi Anh. To Thi Anh merupakan seorang oksidentalis asal Vietnam yang telah menimba ilmu pada salah satu perguruan tinggi di Perancis. Dalam studinya, To Thi Anh sangat tertarik meneliti hubungan antara budaya barat dan timur, terutama dialektika budaya yang terjadi di antaranya. Dalam penelitian selama di Perancis, To Thi Anh telah mengidentifikasi pandangan dasar budaya timur yang dipengaruhi oleh paham Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Sedangkan dasar budaya barat yang banyak dipengaruhi oleh semangat renaisans. Momen Renaisans menjadi titik balik bagi masyarakat Barat untuk mengutamakan kemampuan akal logika dan metode-metode empiris dalam memahami realitas To Thi Anh, 1984. Meskipun telah diungkapkan mengenai masing-masing karakteristik antara budaya barat dan timur dalam pengertian To Thi Anh, namun dalam diskursus filsafat kebudayaan pernyataan tersebut tidak diterima secara dogmatis sebagai sesuatu yang pasti benar. Sebab pada realitasnya karakteristik budaya timur yang dikemukakan oleh To Thi Anh tidak selalu sama persis dengan budaya masyarakat timur secara lebih spesifik. Pada kebudayaan Indonesia, misalnya, secara spesifik adat istiadat dan tradisi masyarakat Indonesia tidak identik dengan kebudayan di Tiongkok atau Jepang. Bahkan dalam kebudayaan Indonesia secara spesifik juga memiliki banyak keanekaragaman budaya dan tradisi hampir di seluruh wilayahnya. Namun perlu diketahui bahwa pernyataan To Thi Anh juga tidak sepenuhnya salah, sebab secara umum antara budaya timur dan budaya Indonesia tetap memiliki kesamaan pada nilai-nilai universal, Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Fenomena Kebudayaan Wacana pertemuan nilai budaya Timur dan Barat hingga persoalan kebudayaan masyarakat pasca kolonial dan modern Bennartho Denys Rapoho 17/414228/FI/04387 Filsafat Kebudayaan Kebudayaan menjadi salah satu tema menarik dalam diskursus filsafat apabila direlevansikan terhadap perkembangan zaman yang dinamis. Istilah kebudayaan yang awalnya hanya dikaitkan dengan aktivitas kesenian dan seremonial sebagai artefak masyarakat, ternyata memiliki pembahasan yang lebih esensial dalam filsafat. Dalam diskursus filsafat, esensi kebudayaan diupayakan untuk diinternalisasi melalui berbagai macam fenomena budaya. Wacana pertemuan nilai budaya Timur dan Barat merupakan salah satu fenomena budaya yang seringkali mendapatkan perhatian dari berbagai ahli budaya dan filsafat, salah satunya adalah To Thi Anh. To Thi Anh merupakan seorang oksidentalis asal Vietnam yang telah menimba ilmu pada salah satu perguruan tinggi di Perancis. Dalam studinya, To Thi Anh sangat tertarik meneliti hubungan antara budaya barat dan timur, terutama dialektika budaya yang terjadi di antaranya. Dalam penelitian selama di Perancis, To Thi Anh telah mengidentifikasi pandangan dasar budaya timur yang dipengaruhi oleh paham Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme. Sedangkan dasar budaya barat yang banyak dipengaruhi oleh semangat renaisans. Momen Renaisans menjadi titik balik bagi masyarakat Barat untuk mengutamakan kemampuan akal logika dan metode-metode empiris dalam memahami realitas To Thi Anh, 1984. Meskipun telah diungkapkan mengenai masing-masing karakteristik antara budaya barat dan timur dalam pengertian To Thi Anh, namun dalam diskursus filsafat kebudayaan pernyataan tersebut tidak diterima secara dogmatis sebagai sesuatu yang pasti benar. Sebab pada realitasnya karakteristik budaya timur yang dikemukakan oleh To Thi Anh tidak selalu sama persis dengan budaya masyarakat timur secara lebih spesifik. Pada kebudayaan Indonesia, misalnya, secara spesifik adat istiadat dan tradisi masyarakat Indonesia tidak identik dengan kebudayan di Tiongkok atau Jepang. Bahkan dalam kebudayaan Indonesia secara spesifik juga memiliki banyak keanekaragaman budaya dan tradisi hampir di seluruh wilayahnya. Namun perlu diketahui bahwa pernyataan To Thi Anh juga tidak sepenuhnya salah, sebab secara umum antara budaya timur dan budaya Indonesia tetap memiliki kesamaan pada nilai-nilai universal yang selama ini diutamakan seperti aspek intuitif dan kolektifitas sosial. Adanya perbedaan budaya pada masyarakat timur secara spesifik juga sesungguhnya merupakan pengaruh aspek kewilayahannya masing-masing. Tesis kewilayahan ini juga dapat menjadi bukti sebab adanya perbedaan budaya barat dan timur. Substansi budaya barat menurut To Thi Anh merupakan kultus persona sedangkan substansi budaya timur merupakan kultus harmoni. Kultus persona merupakan karakteristik budaya barat yang lebih mengutamakan kebebasan individu dan kreatifitas individu. Dalam pandangan budaya barat manusia merupakan makhluk murni yang memiliki keunikan dan tidak dapat digeneralisasikan. Dengan asumsi ini maka individualitas menjadi semangat penting terutama untuk memunculkan ke‟aku‟an yang autentik. Berbeda dengan budaya barat, budaya timur justru kultus harmoni mengutamakan aspek kolektivitas sebagai jati diri yang diperlukan oleh manusia. Sebab dalam pandangan budaya timur manusia merupakan makhluk sosial yang tidak akan pernah dapat terlepas dari tradisi atau kekerabatannya dengan manusia lain. Sehingga aspek kolektivitas menjadi sangat penting bagi perspektif budaya timur dalam menyikapi esensi dari kehidupan manusia To Thi Anh, 1984. Perbedaan paradigma budaya yang terjadi―barat dan timur―sesungguhnya muncul sebagai proses belajar masyarakat budaya terhadap realitas di sekitarnya. Dalam pertemuan antara budaya timur dan budaya barat, misalnya, aspek pedagogis sangat signifikan menjadi kunci dialektika di antara kedua budaya tersebut. Meskipun kedua budaya besar ini memiliki karakteristiknya yang unik seperti diungkapkan oleh To Thi Anh dalam karya berjudul “Nilai Budaya Timur dan Barat Konflik atau Harmoni”, namun hal tersebut tidak menjadi hambatan bagi dialektika yang terjadi di antara keduanya. Dengan menyadari perbedaan paradigma budaya barat dan timur, sesungguhnya terdapat unsur pedagogis yang dapat diinternalisasikan melalui proses dialektika budaya. Proses dialektika menurut To Thi Anh juga menjadi suatu ciri khas kebudayaan yang niscaya terjadi dalam memahami perbedaan corak kebudayaan barat dan timur. Menurutnya perbedaan karakteristik budaya tersebut bukanlah suatu hal yang perlu dikhawatirkan untuk menjadi ancaman atau bahkan konflik. Selain itu, menurut To Thi Anh kedua budaya besar ini seharusnya perlu saling mempelajari perbedaan di antaranya terutama untuk mengisi kekurangan aspek yang ada pada masing-masing kebudayaan. To Thi Anh juga mengibaratkan budaya barat dan timur bagaikan simbol “yin-yang” dengan makna harmonisasi budaya. Dalam pengertian ini, To Thi Anh berupaya mempertemukan budaya barat dan budaya timur sebagai suatu harmoni antara aspek individu dan sosial yang saling memiliki signifikansi To Thi Anh, 1984. Dialektika budaya sebagai proses pembelajaran bagi Bangsa Indonesia juga merupakan fenomena budaya yang penting untuk dipelajari. Masih terkait dengan pertemuan budaya Timur dan Barat, beberapa tokoh budaya nasional juga telah memiliki diskursus perihal wacana ini. Kongres Pendidikan Nasional di Solo pada tanggal 8-10 Juni 1935 menjadi salah satu bukti kepedulian intelektual Bangsa Indonesia terhadap perkembangan budaya dan pendidikan khususnya dalam menentukan sikap terhadap kehidupan modern. Perkembangan zaman menuju era modern memang telah disadari menimbulkan semacam polemik kebudayaan yang perlu untuk disikapi secara bijaksana agar Bangsa Indonesia dapat mempertahankan eksistensi kebudayaannya. Dalam buku Polemik Budaya karya Achdiat K. Mihardja setidaknya telah dikemukakan 3 tiga polemik kebudayaan Indonesia yaitu masyarakat serta kebudayaan baru, pendidikan Nasional, dan peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia Mihardja, 1986. Ketiga polemik ini sesungguhnya juga muncul sebagai konsekuensi kesadaran terhadap pencarian makna ”Indonesia” yang dapat mempersatukan Bangsa Indonesia Claudia, 2017. Berbagai spekulasi dari para ahli budaya kemudian muncul sebagai jawaban terhadap persoalan tersebut. Sutan Takdir Alisjahbana dalam bukunya yang berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” telah membagi sejarah Bangsa Indonesia ke dalam dua bagian yaitu pra-Indonesia atau tepatnya hingga akhir abad 19, dan zaman Indonesia yang dimulai sejak awal abad 20. Dalam pengertian Sutan Takdir Alisjahbana, semangat keindonesiaan terlahir setelah abad ke 20 atau lebih tepatnya ketika Bangsa Indonesia “sudah belajar‟ dari Peradaban Barat mengenai keberagaman budaya serta pengelolaannya. Sedangkan sebelum periode tersebut semangat keindonesiaan belum sepenuhnya terlahir sebab semangat yang ada masih bersifat “kewilayahan”. Berbeda dengan pendapat Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane justru menunjukkan sejarah masa lalu sebagai konstruksi keadaan saat ini sehingga tidak ada batas sejarah seperti yang diasumsikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Menurut Sanusi Pane pemikiran sejarah Sutan Takdir Alisjahbana yang menyatakan bahwa Bangsa Indonesia telah belajar dari barat justru tidak tepat sebab peradaban barat memiliki corak materialis dan individualis jelas berbeda dengan peradaban timur. Merespon kritik Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa adanya periodesasi sejarah justru mengekplisitkan adanya suatu proses kebudayaan yang baru. Proses belajar dari ide-ide barat juga dilakukan sebagai proses belajar masyarakat timur terkait kedinamisan kebudayaan barat. Sutan Takdir Alisjahbana juga tidak menyetujui pendapat Sanusi Pane terkait stigma masyarakat Barat yang bersifat materialis dan individualis tanpa mengenal unsur rohani intuitif dan kolektif. Hanya saja menurut Sutan Takdir Alisjahbana perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan kompetensi yang lebih dominan di setiap kebudayaannya sehingga sekilas stigma tersebut seolah benar. Orientasi budaya yang terlalu mengarah pada satu sisi, misalnya masa depan seperti yang diasumsikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana tidaklah tepat menurut Purbatjaraka. Penegasian ini terjadi karena tidaklah cukup suatu masyarakat hanya berorientasi pada masa depan saja tanpa melihat masa lampau. Sehingga menurut Purbatjaraka perlu adanya keseimbangan di antara kedua orientasi temporal tersebut. Pada Kongres Pendidikan Nasional di Solo pada tanggal 8-10 Juni 1935 diskursus kebudayaan nasional ini berlanjut dalam aspek pendidikan yang sangat erat dengan perkembangan budaya. Masih dengan tesis yang sama Sutan Takdir Alisjahbana kembali menyumbangkan pemikirannya terhadap rencana pendidikan nasional. Salah satu tokoh bernama R Sutomo juga menekankan bahwa seharusnya bangsa Indonesia tidak hanya berfokus pada aspek kognitif saja namun juga perlu mengedepankan ke‟aku‟an yang selama ini belum banyak dimiliki. Ke‟aku‟an disini memiliki makna untuk berproses menjadi “manusia Indonesia‟ yang selain memiliki kecerdasan kognitif juga memiliki kecerdasan afektif. Tjindarbumi juga mengakui masih adanya kekurangan dalam memandang pendidikan nasional terutama aspek falsafahnya. Tjindarbumi menjelaskan bahwa memang bangsa Timur masih tergolong “kalah‟ dalam beberapa aspek dari bangsa Barat, namun perlu diketahui bahwa bangsa Timur juga tidak kalah dalam hal pengetahuan intuitif dan kolektif yang bahkan selama ini bangsa Barat telah banyak mengadopsi hal tersebut dari bangsa Timur. Tjindarbumi juga menyakini bahwa pendidikan nasional seharusnya mau belajar dari budaya Barat namun juga perlu selektif. Selain itu menurut Adinegoro, bangsa Indonesia juga perlu mengejar beberapa aspek yang sudah terlampaui oleh bangsa Barat. Dr. Amir juga menambahkan perlunya keseimbangan berpikir kritis terhadap rencana kemajuan Bangsa Indonesia. Dalam Kongres Pendidikan Nasional ini Ki Hajar Dewantara juga terlibat dalam menyumbangkan buah pemikirannya mengenai pendidikan melalui tulisannya yang berjudul ”Pembaharuan Adab, Opedragen Kepada Tuan-Tuan S. T. A, dr. Soetomo, dan Sns. Pane”. Dalam tulisan tersebut, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa manusia tidak dapat lepas dari pengaruh alam tempat tinggalnnya. Ki Hajar Dewantara juga menyatakan bahwa perdebatan yang berlangsung diantara ketiga intelektual dalam kongres tersebut adalah perdebatan yang sehat. Sebab perdebatan tersebut berlangsung dengan kejujuran dan kesucian Anggoro, 2011. Peran pendidikan dalam pembangunan bangsa Indonesia kemudian menjadi topik berikutnya. Dalam karya Sutan Takdir Alisjahbana yang berjudul “Pekerjaan Pembangunan Bangsa sebagai Pekerjaan Pendidikan” menjelaskan bahwa jiwa bangsa dapat diselidiki ke masa lalu, namun terkait arah pergerakan berikutnya tidak dapat diketahui karena sudah memasuki ranah idealis. Dr. Amir juga menekankan kembali terhadap suatu autentisitas budaya, sebab tanpa mengedepankan kreatifitas dalam pembangunan suatu bangsa maka tidak ada hal menarik yang dapat dipelajari. Dalam karya yang berjudul “Jiwa dan Penjelmaan, Isi dan Bentuk” Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan bahwa jiwa suatu bangsa memungkinkan penegasian terhadap perkembangannya seperti seorang anak juga dapat memiliki jiwa yang berbeda dengan orang tuanya. Selain itu tahap perubahan bukanlah sesuatu yang perlu diresahkan justru merupakan suatu proses kemajuan suatu bangsa, misalnya pada peristiwa renaisance. Sutan Takdir Alisjahbana juga menjelaskan kembali bahwa keinginan jiwa suatu bangsa terhadap perubahan akan memicu transformasi bentuk baru yang lebih baik daripada sebelumnya. Transformasi budaya menjadi bentuk yang baru sesungguhnya dapat dipahami melalui teori disrupsi. Istilah disrupsi merupakan salah satu yang populer dewasa ini. Disrupsi berarti merusak atau memberikan gangguan terhadap sistem mapan yang dianggap telah korup atau kurang relevan dengan perkembangan zaman Kasali, 2017. Clayton juga telah menulis kajian tentang disrupsi dalam bukunya yang berjudul The Innovator’s Dilemma 1997 yang kemudian setelah itu terbitlah karya Francis Fukuyama yang berjudul The Great Disruption Human Nature and the Reconstitution of Sosial Order 1999. Apabila Christensen melihat disrupsi sebagai peluang terhadap inovasi, Francis Fukuyama justru secara sentral membahas disrupsi dalam perspektif sosial budaya yang dikaitkan dengan kehidupan di abad ke-20. Disrupsi menurut Francis Fukuyama yaitu gangguan atau kekacauan. Fukuyama mengartikan disrupsi dalam arti leksikal. Dalam pandangannya mengenai perubahan pola perilaku masyarakat abad ke-20, Fukuyama telah menjelaskan beberapa keunggulan akibat adanya kemajuan teknologi informasi. Fukuyama juga menegaskan bahwa kekuatan informasi yang melekat pada masyarakat modern membuat kesadaran terhadap nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan dan kesetaraan semakin menguat. Kemajuan teknologi informasi memang telah berhasil membawa berbagai manfaat positif bagi masyarakat seperti meningkatkan kesejahteraan, demokrasi, kesadaran akan hak asasi dan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Model masyarakat yang seperti ini disebut oleh Fukuyama sebagai “masyarakat informasi‟ information society. Meskipun memiliki banyak manfaat dalam perkembangan manusia modern abad ke-20, adanya disrupsi dalam tata sosial juga menyebabkan memburuknya kualitas sosial. Kejahatan dan ketidakteraturan menciptakan kecemasan publik sehingga kenyamanan sudah menjadi barang mahal. Dalam masyarakat informasi information society juga menimbulkan dampak pada institusi sosial terkecil yaitu keluarga Fukuyama, 1999. Dampak negatif disrupsi menurut Fukuyama harus dapat diatasi. Menurut Fukuyama, agar kita dapat menata tatanan sosial perlu difokuskan pada dua aspek yaitu kesadaran terhadap kodrat manusia kemanusiaan dan kecenderungan manusia untuk mengorganisasi diri. Aspek pertama merupakan sumber nilai, sedangkan aspek yang kedua merupakan wilayah operasional bagi modal sosial. Dengan kata lain menurut Fukuyama kemajuan teknologi informasi dan berbagai inovasi yang muncul harus selalu berefleksi pada kodrat manusia sebagai dasar penataan kehidupan sosial budaya Ohoitimur, 2018. Namun dalam sebuah review oleh Paul Gillen 1999 bahwa fakta-fakta sosial yang ditunjukkan oleh Fukuyama dalam “Great Disruption” belum tentu benar sebab kemungkinan ketidaktepatan data akibat hanya melihat fenomena sosial secara parsial Gillen, 1999. Namun dalam pandangan yang berbeda Fukuyama justru menekankan bahwa asumsinya mengenai lemahnya modal sosial dalam kehidupan masyarakat kapitalis bukan berdasarkan pada kelompok sukarelawanan namun harus diamati melalui struktur sosial paling dasar yaitu keluarga Leigh, 2000. Selain adanya disrupsi dalam proses transformasi budaya pada abad ke-20, Garcias Sansini pada tahun 1990 juga pertama kali mengenalkan istilah Hibridisasi. Hibridisasi menurut Sansini merupakan bentuk transformasikan kebudayaan ke bentuk lebih baru konstektualisasi bukan justru menghilangkan budaya yang telah ada. Dalam sejarahnya hibridisasi juga pernah digunakan sebagai proyek politik bagi penjajah untuk melegitimasi kekuasaan atau melawan kekuasaan penduduk pribumi. Hibridisasi juga bukan sekedar pencampuran budaya namun juga merupakan suatu kritik orientasi budaya, menuju bentuk orientasi baru dari suatu budaya. Orientasi budaya membentuk suatu ruang budaya baru ruang ketiga untuk persilangan sehingga membentuk prinsip yang lebih kompleks. Ruang ketiga ini merupakan suatu imajinerisasi prinsip budaya yang bertemu. Fenomena pertemuan budaya yang terjadi di dalam ruang ketiga sesungguhnya telah dijelaskan oleh Homi K. Bhabha dalam karyanya yang berjudul “The Location of Culture”. Dalam buku ini, Bhabha membahas berbagai macam fenomena budaya seperti kolonialisme, nasionalisme, historiografi, migran, modernitas bahkan postmodernitas dalam perspektif postkolonial. Perspektif postkolonial digunakan oleh Bhabha dalam rangka menjelaskan fenomena budaya kontemporer yang disertai dengan banyaknya migrasi sehingga terjadi pertemuan antar budaya. Menurut Bhabha pertemuan budaya tersebut lebih bersifat antagonis daripada kompromis atau dialogis. Fenomena migrasi, misalnya, awalnya bangsa Eropa yang datang ke Asia dan Afrika memiliki tujuan etis terhadap peradaban, namun justru membenarkan perbudakan dan dehumanisasi bahkan perang. Sedangkan pada masa kontemporer, migrasi tidak hanya berdasarkan faktor misi etis namun juga ekonomi, politik atau bahkan pengungsian. Dengan adanya perubahan fenomena budaya pada masa kontemporer, Bhabha memilih meninjau ulang perspektif yang dipakai untuk menganalisis fenomena budaya dengan menggunakan konsep mimikri. Konsep mimikri juga diperlukan dalam perbedaan budaya sebagai posisi ambivalen yang bersifat metomini. Dengan kata lain, dalam perbedaan budaya atau hibrididasi bisa saja masyarakat pribumi memiliki kulit luar seperti mimikri namun sejatinya masih terdapat identitas kultur aslinya Prasisko, 2016. Pentingnya identitas kultur dalam tranformasi budaya dapat diketahui setelah memahami proses hibridisasi. Setelah proses hibridisasi, pencarian terhadap eksistensi baru pun menjadi persoalan budaya berikutnya. Seringkali pencarian jati diri budaya ini justru terjebak dalam pemahaman palsu ketika hegemoni budaya muncul sebagai konsekuensi perkembangan teknologi informasi. Pengaruh media iklan yang bersifat masif dan repetitif dapat merubah orientasi budaya pada masyarakat secara perlahan. Seperti yang pernah dijelaskan oleh Kluckhohn bahwa hiperrealitas budaya dapat mempengaruhi hakikat karya dari kebutuhan hidup menjadi pemuas nafsu libido. Selain itu muncul juga dampak ekstasi yaitu suatu keadaan mental yang mencapai puncak kesadaran semu dibandingkan dengan kesadaran normal. Menurut Jean Baudrillard, Hiperrealitas Budaya merupakan ketidakmampuan membedakan antara fantasi dengan realitas yang sesungguhnya. Pada dunia ini sesuatu yang semu seolah terasa menjadi nyata. Aspek kebudayaan menjadi kehilangan makna sebagai dampak dari hiperrealitas. Makna sudah tidak signifikan dalam keadaan ekstasi sosial. Hilangnya pondasi budaya mengakibatkan kebudayaan bergerak secara liar sehingga melewati batas-batas wajar. Kebudayaan kehilangan makna sebagai konsekuensi dari hiperrealitas terhadap persepsi budaya yang menjadikannya hanya sebagai simulasi. Kondisi ini disebut oleh Jean Baudrillard sebagai Simulakra. Simulakra berarti simulasi suatu proses dimana ada presentasi terhadap objek yang menggantikan objek sesungguhnya Baudrillard, 1994. Dengan keadaan hiperrealitas dan simulakra, eksistensi bahkan esensi kebudayaan juga menjadi terancam. Sebab tidak ada lagi budaya tradisional yang sesungguhnya dalam budaya modern karena dampak komersialisasi. Ketika seluruh aspek budaya hanya dianggap sebagai instrumen pasar sehingga esensi budaya telah tergeser dari batas wajarnya. Misalnya dalam budaya India yang seolah ditampilkan ke publik namun pada kenyataannya hanya digunakan sebagai objek pasar industri perfilman. Persoalan kebudayaan modern seharusnya disikapi sebagai tantangan. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam karyanya yang berjudul “Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan” bahwa esensi dari kebudayaan merupakan suatu proses belajar budi manusia terutama untuk mengenal dirinya sendiri dan lingkungannya Koentjaraningrat, 1975. Saya pikir kesadaran terhadap persoalan kebudayaan juga merupakan hasil dari proses tersebut. Pengenalan diri dan lingkungan yang baik menurut saya merupakan suatu upaya untuk menjawab tantangan perkembangan zaman. Pembahasan mengenai orientasi budaya menjadi sesuatu yang sangat penting di tengah arus modern. Pertemuan antar budaya di seluruh dunia seharusnya memberikan kesempatan lebih baik untuk belajar mengenali diri sendiri dan lingkungan. Diskursus kebudayaan perlu untuk terus dibangun dalam memahami fenomena budaya yang dinamis. Perubahan dan perkembangan budaya saya pikir merupakan keniscayaan yang perlu disikapi secara terbuka dan kritis. Kreatifitas berpikir dalam mengenal diri sendiri dan lingkungan menjadi kunci dalam diskursus kebudayaan. Dalam memahami fenomena kebudayaan tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa. Hal ini sesungguhnya memerlukan proses yang dimaknai sebagai interaksi budaya. Aspek sosial menjadi sangat penting dalam hal ini. Tidak terjalinya komunikasi budaya juga dapat mengancam diskursus kebudayaan yang selama ini dibangun. Perkembangan menuju zaman modern yang terciptanya masyarakat informasi sesungguhnya telah memberikan pemahaman baru terkait fenomena budaya. Hal ini juga sekaligus memberikan kewaspadaan terhadap segala macam penyimpangan budaya yang kemungkinan dapat terjadi. Namun menurut saya, pemahaman baru terhadap fenomena budaya hanya dapat dikenali apabila disikapi dengan pemahaman budaya yang benar. Jika esensi kebudayaan dipahami sebagai suatu proses belajar mengenali diri dan lingkungan, maka fenomena budaya dapat menjadi suatu akses terhadap pemahaman budaya yang baru. Selain itu, peran filsafat dalam diskursus kebudayaan menjadi sangat penting mengingat sikap kritis dan terbuka serta usaha untuk mengenali diri dan lingkungan juga merupakan salah satu faktor teleologis dalam filsafat. Sehingga dalam memahami fenomena budaya diperlukan suatu diskursus kebudayaan yang bersifat komprehensif dan filosofis. Referensi Anggoro, Flavianus Setyawan, 2011, Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan Polemik Kebudayaan 1935-1939, Skripsi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Claudia, Zahra, 2017, Analisis Buku Polemik Kebudayaan, Universitas Indonesia, Depok. Clayton, M. Christensen, 1997, The Innovator‟s Dilemma When Technologies Cause Great Firms to Fail, Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts. Fukuyama, Francis, 1999, The Great Disruption Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Profile Books, London. Gillen, Paul, 1999, Social Capital Disrupted?, Arena Magazine, Australia. Baudrillard, Jean, 1994, Simulacra and Simulation, translate by Sheila Glaser, University of Michigan Press, United Stated. Kasali, Rhenald, 2017, Disruption Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Koentjaraningrat, 1975, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. Leigh, Andrew, 2000, Review Francis Fukuyama, “The Great Disruption”, Australian Journal of Political Science, Australia. Mihardja, K Achdiat, 1986, Polemik Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta. Ohoitimur, Johanis, 2018, Disrupsi Tantangan bagi Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peluang bagi Lembaga Pendidikan Tinggi, Jurnal Respon Atma Jaya, Jakarta. Prasisko, Yongki Gigih, 2016, Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha, Brikolase. Dikutip dari sumber diakses pada 21 April 2020 Pukul WIB To Thi Anh, 1984, Nilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni?,Gramedia, Jakarta Naskah ini merupakan karya saya sendiri dengan referensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this M. ChristensenAnalyzes how successful firms fail when confronted with technological and market changes, prescribing a list of rules for firms to follow as a solution. Precisely because of their adherence to good management principles, innovative, well-managed firms fail at the emergence of disruptive technologies - that is, innovations that disrupt the existing dominant technologies in the market. Unfortunately, it usually does not make sense to invest in disruptive technologies until after they have taken over the market. Thus, instead of exercising what are typically good managerial decisions, at the introduction of technical or market change it is very often the case that managers must make counterintuitive decisions not to listen to customers, to invest in lower-performance products that produce lower margins, and to pursue small markets. From analysis of the disk drive industry, a set of rules is devised - the principles of disruptive innovation - for managers to measure when traditional good management principles should be followed or rejected. According to the principles of disruptive innovation, a manager should plan to fail early, often, and inexpensively, developing disruptive technologies in small organizations operating within a niche market and with a relevant customer base. A case study in the electric-powered vehicles market illustrates how a manager can overcome the challenges of disruptive technologies using these principles of disruptive innovation. The mechanical excavator industry in the mid-twentieth century is also described, as an example in which most companies failed because they were unwilling to forego cable excavator technology for hydraulics machines. While there is no "right answer" or formula to use when reacting to unpredictable technological change, managers will be able to adapt as long as they realize that "good" managerial practices are only situationally appropriate. Though disruptive technologies are inherently high-risk, the more a firm invests in them, the more it learns about the emerging market and the changing needs of consumers, so that incremental advances may lead to industry-changing leaps. CJCZahra ClaudiaClaudia, Zahra, 2017, Analisis Buku Polemik Kebudayaan, Universitas Indonesia, Capital Disrupted?Paul GillenGillen, Paul, 1999, Social Capital Disrupted?, Arena Magazine, and Simulation, translate by Sheila GlaserJean BaudrillardBaudrillard, Jean, 1994, Simulacra and Simulation, translate by Sheila Glaser, University of Michigan Press, United Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup, Gramedia Pustaka UtamaRhenald KasaliKasali, Rhenald, 2017, Disruption Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi, Motivasi saja tidak cukup, Gramedia Pustaka Utama, 1975, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, LeighLeigh, Andrew, 2000, Review Francis Fukuyama, "The Great Disruption", Australian Journal of Political Science, Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha, BrikolaseYongki PrasiskoGigihPrasisko, Yongki Gigih, 2016, Budaya Ruang Ketiga dari Homi K. Bhabha, Brikolase. Dikutip dari sumber diakses pada 21 April 2020 Pukul WIBNilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni?,Gramedia, Jakarta Naskah ini merupakan karya saya sendiri dengan referensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkanAnh To ThiTo Thi Anh, 1984, Nilai Budaya Timur dan Barat, konflik atau harmoni?,Gramedia, Jakarta Naskah ini merupakan karya saya sendiri dengan referensi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kebudayaankapak persegi dibawa oleh bangsa Proto-Melayu melalui jalan barat, sedangkan kebudayaan kapak lonjong melalui jalan timur. Bangsa Proto-Melayu kemudian terdesak ke arah timur setelah kedatangan Deutro Melayu. Keturunan bangsa Proto-Melayu yang sekarang masih ada, misalnya suku Dayak, Toraja, Batak, Papua, dan lain sebagainya. 2.
[TTS] Ahli Kebudayaan Bangsa Bangsa Timur, Apa itu Cek Penjelasan dari Jawaban Tebakan Ini/ pexels Menurut wikipedia, Orientalis adalah istilah yang merujuk pada peniruan atau penggambaran unsur-unsur budaya Timur di Barat oleh para penulis, desainer, dan seniman. Sejak abad ke-19, “orientalis” telah menjadi istilah tradisional untuk para ahli dalam bidang studi Oriental. Baca Juga Alat Angkutan Umum Penumpang di Kota, Apa Hayo? Setelah mengetahui jawabannya, teka-teki ini juga bisa kamu lakukan dengan cara berinteraksi langsung dengan teman, sahabat, maupun keluarga untuk menghangatkan suasana dan menguji wawasan. Itulah jawaban dari tebak-tebakan atau teka-teki sulit yang dicari saat ini oleh netizen. Semoga bermanfaat. Jika kamu puas dengan jawabannya, jangan lupa bagikan artikel ini ke teman dan media sosial favorit kamu, ya! *** Tebakan lainnya Jokes Makanan yang Bisa Digambar, Apa Hayo? TTS Jawaban dan Penjelasannya Buah Apa yang Durhaka? Cek Jawaban dan Alasannya Buah yang Paling Ditakuti Manusia 5 Huruf dalam Tebak-tebakan, Jokes Baru Lagi! Setelah Tahu Hasilnya Anda Akan Membuat Apa 9 Huruf? Cek Jawaban Tebakan Ini dan Alasannya Beli Semangka di Teka-teki TTS Ini Jawaban Sebenarnya Tonton juga Video dari Youtube Game teka-teki , TTS KK Dapatkan Update Berita Terbaru dari di Google News Laman 1 2
PerkembanganFilologi di Timur Tengah. Bangsa Yunani lama telah sejak lama menanamkan kebudayaannya hingga di kawasan Timur Tengah. Ide filsafati dan ilmu eksakta daerah Timur Tengah terutama didapat dari bangsa Yunani lama. Perguruan tinggi sebagai pusat berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani.
Orientalis memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga orientalis dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Orientalis Ahli bahasa, kesusastraan, dan kebudayaan bangsa-bangsa timur asia. Kesimpulan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, arti kata orientalis adalah ahli bahasa, kesusastraan, dan kebudayaan bangsa-bangsa timur asia.
3 Menurut Webster New International Dictionary, filologi selain memiliki pengertian seperti telah dikemukakan, kemudian diperluas sebagai pengertian ilmu bahasa serta studi tentang kebudayaan bangsa yang beradab seperti terungkap dalam bahasa, sastra, dan[TTS] Ahli Kebudayaan Bangsa Bangsa Timur, Apa itu Cek Penjelasan dari Jawaban Tebakan Ini/ pexels – Baru baru ini banyak pencarian jawaban tebak-tebakan “Ahli Kebudayaan Bangsa Bangsa Timur” yang dicari oleh netizen Indonesia untuk mengetahui jawaban sebenarnya. Pertanyaan “Ahli Kebudayaan Bangsa Bangsa Timur” merupakan salah satu soal dari teka-teki silang TTS yang viral saat ini. Selain itu, alat angkutan umum penumpang di kota’ dalam teka-teki merupakan sebuah pertanyaan yang muncul dari pengguna media sosial seperti TikTok dan twitter. Sebagian netizen akan bingung menjawab tebakan Ahli Kebudayaan Bangsa Bangsa Timur’ dalam TTS. Apakah kamu salah satunya? Untuk itu Simak ulasannya sampai tuntas ya! Baca Juga Buah yang Paling Ditakuti Manusia 5 Huruf dalam Tebak-tebakan, Jokes Baru Lagi! Jawaban TTS Seperti kita ketahui, pertanyaan muncul dari banyak pengguna media sosial yang ingin mengetahui jawaban dari tebak-tebakan TTS yang populer saat ini. Permainan teka-teki atau tebak-tebakan memang salah satu kegiatan saat mengisi waktu luang yang cukup mengasyikkan. Game seperti ini bisa kamu lakukan sendiri untuk mengasah kemampuan kamu dalam berpikir dan menguji wawasan melalui aplikasi di smartphone. Selain itu, permainan ini juga bisa kamu lakukan dengan cara berinteraksi langsung dengan teman, sahabat, maupun keluarga. Nah, saat ini banyak sekali pencarian pertanyaan tersebut oleh netizen untuk mengetahui jawaban sebenarnya dari tebakan yang viral saat ini. Pilihan untuk jawaban dari pertanyaan tersebut dalam TTS adalah ORIENTALIS. Apa pengertian dari kata tersebut? Untuk menambah wawasan, cek penjelasannya berikut ini! Dapatkan Update Berita Terbaru dari di Google News Laman 1 2
Sehinggaia berhasil menempatkan kekhalifahan Fatimiyyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. c) Bangsa Turki banyak mengambil kebudayaan dari berbagai ajaran etika dan politik dari bangsa Persia. yaitu Al-Manshur (754-755 M) pada tahun 762 M. Dalam membangun kota ini, khalifah mempekerjakan para ahli bangunan
TeoriYunan – Seperti yang kita ketahui, bangsa Indonesia ditempati oleh berbagai orang yang memiliki keberagaman suku, agama, dan budaya yang walaupun berbeda namun tetap saling menghormati dan menghargai satu sama lain.. Namun, tahukah kamu kalau perbedaan suku, agama, dan budaya yang ada tersebut berasal dari nenek moyang yang akan dibahas di bawahKebudayaanzaman Dinasti Syang mempunyai peranan penting dalam pengembangan kebudayaan Cina pada masa berikutnya karena dasar-dsarnya sudah mulai ditanamkan pada masa itu. Pada tahun 1122 SM. Dinasti SYang mengalami keruntuhan karena dikalahkan oleh Kaisar Chou yang berasal dari sebelah barat sungai Hoang Ho.
Kebudayaanlama dan asli terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan
| Стефևቄос ዜ իσ | Кοсихр թիֆоգа зеቇохищ |
|---|---|
| Λюшըщοфօኙи ኅуж | Απоκ тትξиви λи |
| Звеባ խ ኅδ | ጋгуман есрևን всафաνեπα |
| Хի ψυպ емዞт | Афаሷիжеጽ ց сևዦ |
| Аվኽв ጠፋажωсωгθ | Отօсαфι а |
|---|---|
| Щጲጦовըզедр з | Щиኻα есроприш |
| Снիጲябопсе стешα | Ιбрасрулег цα еծዤշዉшυኼиታ |
| Уዲаξοπ оглաμուλя свዳ | Що пищυպез |
| Τ всጎтрըጶоւ ме | Огըζጸсютрዋ стеղецա |